Berikut Ulasan singkat tentang hikmah Isra’ Mi’raj.
بِسْــمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْـرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً
مِنَ الْمَسْــجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْـجِدِ الأَقْصى الَّــذِيْ بَارَكْنَا
حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Dengan menyebut nama-mu ya Alloh Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Maha Suci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya
(Muhammad) pada waktu sebagian dari malam hari dari masjid Al Haram ke masjid
Al Aqsha yang telah Kami beri berkah sekelilingnya agar Kami dapat menunjukkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Alloh Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Momentum Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw dari
Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina kemudian naik ke Sidratul
Muntaha adalah peristiwa yang sangat fenomenal dalam sejarah umat Islam.
Mengapa demikian? Karena dari peristiwa inilah Nabi Muhammad SAW memperoleh
perintah ibadah wajib, yakni sholat lima waktu yang langsung dari Allah SWT.
Perintah sholat ini kemudian menjadi ibadah
wajib bagi setiap umat Islam dan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan
ibadah-ibadah wajib lainnya. Sehingga, dalam konteks spiritual-imaniah maupun
perspektif rasional-ilmiah, Isra’ Mi’raj merupakan kajian yang tak kunjung
kering inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan umat beragama (Islam).
Bersandar pada alasan inilah, Imam Al-Qusyairi
yang lahir pada 376 Hijriyah, melalui buku yang berjudul asli ‘Kitab al-Mikraj’
ini, berupaya memberikan peta yang cukup komprehensif seputar kisah dan hikmah
dari perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, beserta telaahnya. Dengan
menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadits shahih,
Imam al-Qusyairi dengan cukup gamblang menuturkan peristiwa fenomenal yang
dialami Nabi itu dengan runtut.
Selain itu, buku ini juga mencoba mengajak
pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam kisah sakral
Rasulullah SAW, serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini, termasuk
mengenai mengapa mikraj di malam hari? Mengapa harus menembus langit? Apakah
Allah berada di atas? Mukjizatkah mikraj itu hingga tak bisa dialami orang
lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut kita teladani?
Bagaimana dengan mikraj para Nabi yang lain
dan para wali? Bagaimana dengan mikraj kita sebagai muslim? Serta apa hikmahnya
bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang dalam buku ini.
Dalam pengertiannya, Isra’ Mi’raj merupakan
perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul.
Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik
balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku ”In the
Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti pernah
dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga
perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan
hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan
heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah
pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji
Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra
Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta
(al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan
kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan
meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap
pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen
penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW “berjumpa”
dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul
mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan,
dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman,
“Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Mendengar percakapan ini, para malaikat
serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari ungkapan bersejarah
inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku
‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang
dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat
yang di jalankan umat islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat adalah
mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada
beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan
yang disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran yang berbuah
balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mi’raj dan perintah shalat. Dan
ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk
bangkit dan merebut kemenangan. Ketiga hal diatas telah terangkum dengan sangat
indah dalam salah satu ayat Al-Quran, yang berbunyi “Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa
mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Mengacu pada berbagai aspek diatas, buku
setebal 178 halaman ini setidaknya sangat menarik, karena selain memberikan
bingkai yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’ mikraj Nabi saw, tetapi juga
memuat mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali. Kemudian
kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah Mikrajnya
Abu Yazid al-Bisthami. Mikraj bagi ulama kenamaan ini merupakan rujukan bagi
kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju Allah.
Ia menggambarkan rambu-rambu jalan menuju
Allah, kejujuran dan ketulusan niat menempuh perjalanan spiritual, serta
keharusan melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah. Maka, sampai pada
satu kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah menjadi permulaan dari sejarah
kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin
atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi “puncak” perjalanan seorang
hamba menuju kesempurnaan ruhani. (Deks)
Posting Komentar